Rabu, 07 Januari 2009


Pada era sekarang hubungan antara kehidupan remaja terhadap perkembangan lingkungan disekitarnya merupakan fenomena sosial yang jarang ditemui.
banyak orang bergembor-gembor melakukan upaya meningkatkan kesadaran para kawula remaja untuk mewujudkan sikap seperti itu , tapi apa hasilnya ? saya tidak yakin akan keberhasilan tersebut .

misalnya : Tentu berat menjadi remaja yang tinggal di negara serba kekurangan seperti Ethiopia, begitu pendapat kebanyakan orang ketika mengetahui data kemiskinan negara tersebut. Lalu apa yang akan dibicarakan oleh masyarakat dunia tentang Indonesia?

Indonesia, lingkungan tempat tinggal kita, yang senantiasa berbenah dan masih saja dilabeli sebagai negara berkembang, negara yang masih membutuhkan uluran tangan negara-negara maju. Padahal enam puluh tiga tahun adalah usia yang cukup tua untuk menjadi mapan. Bukan usia kanak-kanak lagi, walau memang tidak bisa dibandingkan dengan usia Kerajaan Inggris.

Berbicara tentang Indonesia, tentu tidak bisa dielakkan lagi bahwa Indonesia memiliki masalah yang luar biasa kompleks:

1. Politik, dieksploitasi hanya oleh orang-orang yang punya dana untuk berkampanye dan berorasi sana-sini (walau dengan kemampuan orator yang di bawah kata : minim).
2. Sekolah dan Pendidikan, dijejali guru-guru yang tidak bisa mengajar yang tersenyum malu-malu di depan kelas ketika muridnya bertanya tentang sebuah materi yang juga tidak begitu penting.
3. Ekonomi, kapan selesainya, sih, hutang negara kita ini?
4. Kesehatan, mana ada orang miskin yang berani sakit? Dan kalaupun ada, mana ada yang berani ke rumah sakit? Paling banter mereka ke puskesmas, menunjukkan surat keterangan miskin, disuruh pulang karena ngga punya askes miskin.
5. Hukum, masih juga bicara soal KKN? Lagu lama para pejabat.
6. Jagat hiburan? Terlalu banyak nama baru. Terlalu banyak aji mumpung. Terlalu banyak sinetron yang tentang itu-itu saja. Terlalu banyak waktu untuk; menyalakan teve barang lima menit, ganti-ganti chanel teve, dan matikan lagi.
7. Anak-anak, apakah ada yang peduli? Saat mereka dibuat kelaparan, digendong keliling kota, dicubit supaya menangis, dan Ibunya menadahkan tangan untuk meminta sedekah?
8. Apalagi?

Banyak sekali.

Saat bendera merah putih tidak kunjung diturunkan di bulan September ini, bukan karena menghormati, tapi dilupakan karena pemilik rumah malas menurunkan bendera. Ketika ada pejabat yang berkunjung ke suatu daerah, dan niat anak-anak untuk bersalaman dengan mereka sepertinya bukan lagi hal yang bisa membuat mereka berjingkrak-jingkrak bahagia.

Entahlah. Kadang saya juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Yang kalau diceritakan satu per satu, rasanya tidak mungkin juga. Hidup sepertinya hanyalah saat kita berakting tertawa, menangis, tertawa, menangis dan semua itu bukanlah sesuatu yang lagi mendebarkan.

Ke mana perginya semangat para remaja untuk menyelesaikan masalah? Dahulu, remaja-remaja kerap dijuluki prodigy child. Seperti yang terjadi pada William James Sidis yang menguasai hampir dua ratus bahasa ketika dia berusia delapan belas tahun. Atau yang lebih dekat, bagaimana perjuangan pemuda-pemudi Indonesia, Wikana, Chaerul Saleh, dan Sukarni menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk sebuah kemerdekaan? Bagaimana komentar kita tentang tokoh-tokoh pemimpin utama bangsa kita, Soekarno dan Hatta – yang naik tahta pada usia muda?

Soekarno pernah menyatakan bahwa kita adalah bangsa yang besar. Sekarang, pernyataan itu justru berubah menjadi pertanyaan. Karena kini bangsa besar itu hanyalah mimpi. Di mana kita temukan sebuah bangsa besar jika remaja penerus bangsa yang tinggal di dalamnya hanya betah meminum arak di depan sebuah minimarket, dan sesekali mengunyah kacang, berlanjut menghisap rokok, dan lalu berjudi.

Masih pedulikah remaja kepada lingkungannya? Seperti masih pedulikah para orang tua kepada remaja-remaja itu – yang adalah buah hati mereka?

Hanya pertanyaan, yang hanya bisa terjawab bertahun-tahun mendatang.

oleh : Ummu Aiman Zulfa ( X3 - 35 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar